Talaud – Ketua Dewan Komando Daerah Kaliber Indonesia Bersatu Provinsi Sulawesi Utara Ato Tamila merilis, Pemungutan Suara Ulang (PSU) di Kabupaten Talaud seharusnya menjadi momentum untuk menegakkan keadilan pemilu serta memperbaiki proses demokrasi. Namun, realitas politik di lapangan justru menunjukkan bahwa PSU membuka ruang bagi berbagai bentuk kecurangan yang berpotensi mencederai demokrasi itu sendiri.
“Alih-alih menjadi ajang evaluasi demokrasi yang sehat, PSU justru memicu kegaduhan di ruang publik, ditandai dengan maraknya fitnah dan saling serang di media sosial. Kampanye yang seharusnya mengedepankan gagasan kini dipenuhi praktik tidak etis, di mana masing-masing tim lebih sibuk menjatuhkan lawan ketimbang menawarkan visi pembangunan. Sayangnya, lembaga pengawas pemilu yang diharapkan dapat menangani dan mengawasi jalannya PSU belum optimal menjalankan perannya. Akibatnya, persaingan politik berubah menjadi ajang perebutan kekuasaan yang semakin liar kata Ato Tamila pada saat di hubungi awak media lewat via tlpon 12/03/2025.
Lanjut Tamila, dengan kondisi ini, PSU di Talaud menjadi sorotan banyak pihak. Namun, di lapangan muncul berbagai dugaan pelanggaran, seperti ketidaknetralan ASNĀ dan adanya dugaan membagi-bagi uang untuk memobilisasi massa agar memilih kandidat tertentu dan fitnah di media sosial semakin memperkeruh suasana. Publik kini menanti bagaimana PSU yang dijadwalkan pada 09Maret 2025 akan berlangsung dan apakah benar-benar mampu mencerminkan demokrasi yang bersih dan adil atau justru sebaliknya mengulang Kembali kesalahan dan berujung kepada sengketa gugatan MK Kembali.
Ato Tamila sebagai aktivis pemerhati tanah porodisa ini mengatakan bahwa, salah satu risiko terbesar dalam PSU ini adalah adanya dugaan keterlibatan PJ bupati. Sebagai kepala daerah, ia memiliki akses terhadap sumber daya birokrasi dan jejaring politik yang berpotensi dimanfaatkan untuk mengamankan kemenangan. Ketimpangan ini memunculkan kekhawatiran bahwa PSU tidak akan berjalan secara adil dan semakin mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di talaud.
“Dugaan praktik politik uang semakin menguat menjelang PSU, dengan beredarnya isu bahwa pemilih mendapat uang hingga Rp 1,5 – 2 juta per suara. Jika benar terjadi, praktik ini tidak hanya mencederai prinsip keadilan, tetapi juga memperkuat budaya transaksional dalam politik lokal yang sulit diberantas. Dalam konteks demokrasi deliberatif yang dikembangkan oleh Jurgen Habermas, idealnya pemilu harus menjadi arena diskursus publik yang rasional. Namun, dominasi politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan justru mendistorsi ruang deliberatif tersebut pungkas tamila.
Sebagai kepala daerah,”PJ” bupati seharusnya mengambil sikap netral dan memastikan PSU berjalan tanpa intervensi kekuasaan. Netralitas ini tidak hanya mencakup ketidakterlibatan dalam praktik kecurangan, tetapi juga harus ditunjukkan dalam bentuk tindakan nyata, seperti tidak menekan ASN untuk berpihak, tidak menggunakan fasilitas negara untuk kampanye terselubung, serta tidak menjadikan kebijakan daerah sebagai alat politik elektoral. Jika bupati petahana tetap menggunakan pengaruhnya untuk memenangkan PSU dengan cara-cara yang tidak etis, demokrasi di talaud akan semakin terperosok dalam praktik politik kotor kupas tuntas tamila
“Pemungutan Suara Ulang (PSU) di talaud,dan TPS-TPS di kecamatan esang harus menjadi momentum untuk menegakkan demokrasi yang jujur dan adil. Dalam proses ini, peran Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sangat krusial untuk memastikan PSU berjalan transparan dan bebas dari intervensi. Namun, efektivitas Bawaslu sering dipertanyakan, terutama dalam menghadapi tekanan politik dan potensi kecurangan. Jika Bawaslu hanya bertindak setelah menerima laporan tanpa melakukan pemantauan aktif, peluang terjadinya kecurangan akan semakin besar, merusak legitimasi hasil pemilu, dan mengikis kepercayaan publik terhadap demokrasi.
Tambah Tamila, beberapa potensi pelanggaran yang harus diantisipasi mencakup mobilisasi massa, intervensi terhadap ASN dan intervensi terhadap kades-kades serta praktik politik uang.
Politik uang juga semakin marak dalam situasi PSU, dengan dugaan harga suara mencapai Rp 1,5 hingga Rp 2 juta per pemilih. Jika dibiarkan, praktik ini akan semakin memperkuat budaya politik transaksional yang merusak demokrasi. Oleh karena itu, Bawaslu harus proaktif dalam melakukan pemantauan, membuka posko pengaduan, serta bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk menindak tegas setiap pelanggaran.
Ketidaknetralan aparatur desa dan ASN menjadi ancaman serius lainnya. Tekanan dari pemerintah setempat terhadap pemilih untuk mendukung kandidat tertentu mencederai prinsip pemilu yang jujur dan adil. PSU bukan sekadar soal siapa yang menang atau kalah, tetapi tentang bagaimana menjaga demokrasi agar tetap memiliki legitimasi. Jika PSU kali ini kembali ternoda oleh kecurangan, kepercayaan masyarakat terhadap sistem pemilu akan semakin runtuh.
Bawaslu harus bertindak cepat dan tegas, tidak hanya menunggu laporan, tetapi juga aktif melakukan pengawasan di lapangan. Langkah konkret yang perlu dilakukan meliputi: pertama, membuka posko pengaduan bagi masyarakat. Kedua, melakukan patroli di titik-titik rawan PSU. Ketiga, bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk memastikan PSU berjalan sesuai prinsip demokrasi dan keempat Melakukan pembinaan dan monitoring terhadap dusun setempat untuk mencegah praktik politik uang. Mengingat potensi penyebaran politik transaksional bisa terjadi melalui komunikasi di tingkat dusun, pengawasan ekstra diperlukan agar pemilih tidak terpengaruh oleh intervensi yang mencederai demokrasi.
Sebagai kesimpulan, semua pihak, termasuk masyarakat, harus turut mengawal jalannya PSU agar tidak menjadi ajang praktik politik kotor yang mencederai kehendak masyarakat.
Hal ini tentunya untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang, konflik kepentingan, atau intervensi terhadap penyelenggara pemilu dan pemilih, sebaiknya pj bupati mengambil cuti sementara selama PSU berlangsung rilis Tamila .
(****).