Pencemaran Limbah PT Futai Sulut Berlanjut: DLH, GAKKUM, dan APH Diduga Tutup Mata

Pencemaran Limbah PT Futai Sulut Berlanjut: DLH, GAKKUM, dan APH Diduga Tutup Mata

Spread the love

Bitung – Persoalan limbah pabrik PT Futai Sulawesi Utara kembali menjadi sorotan warga Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung. Meski masalah ini telah berulang kali dimediasi oleh pemerintah setempat, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), PTSP, dan aparat penegak hukum (APH), pencemaran limbah masih terus terjadi. Warga menuding ada pembiaran sistematis terhadap dugaan pelanggaran lingkungan oleh perusahaan tersebut.

Limbah yang diduga belum dikelola dengan baik terus mencemari aliran sungai. Warga melaporkan bahwa limbah yang dibuang berwarna putih, berbau menyengat, dan telah menyebabkan kematian ikan di sungai. “Ini bukan kejadian pertama, tetapi sampai sekarang tidak ada tindakan nyata. Apa artinya semua pengaduan jika perusahaan ini terus beroperasi tanpa pengelolaan limbah yang benar?” ujar seorang warga Tanjung Merah dengan nada kecewa.

Warga mencurigai adanya pihak-pihak yang memiliki jabatan penting di pemerintahan yang melindungi PT Futai. Kecurigaan ini muncul karena meskipun perusahaan diduga belum memiliki izin pengelolaan limbah cair (IPAL), mereka tetap bebas beroperasi. Bahkan, laporan warga kepada GAKKUM Sulawesi Utara tidak membuahkan investigasi atau tindakan hukum.

Kinerja DLH juga dipertanyakan. Sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan regulasi lingkungan hidup, DLH dianggap gagal menjalankan tugasnya. “DLH seharusnya tegas terhadap perusahaan yang melanggar aturan lingkungan. Jika limbahnya mencemari sungai, sudah jelas ada pelanggaran, tetapi mereka diam saja,” kritik seorang aktivis lingkungan di Bitung.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.5/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2021 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, setiap perusahaan yang menghasilkan limbah cair wajib memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan memastikan limbah yang dibuang memenuhi baku mutu lingkungan.

Selain itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa:

DLH memiliki peran untuk melakukan pengawasan, pembinaan, dan penindakan terhadap pelanggaran lingkungan (Pasal 63).

APH dan GAKKUM memiliki kewenangan untuk mengusut dugaan tindak pidana lingkungan hidup yang diatur dalam Pasal 98, yang menetapkan ancaman pidana penjara 3-10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku pencemaran lingkungan.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran oleh PT Futai masih sangat lemah.

Warga Kelurahan Tanjung Merah mendesak pemerintah dan aparat hukum untuk bertindak tegas terhadap perusahaan tersebut. Mereka juga meminta transparansi dari DLH, GAKKUM, dan APH terkait tindak lanjut pengaduan masyarakat.

“Kalau pemerintah dan penegak hukum terus membiarkan, ini hanya akan menambah kerusakan lingkungan. Jangan sampai kami berpikir bahwa hukum di negara ini hanya untuk masyarakat kecil, sementara perusahaan besar kebal hukum,” ujar warga lainnya.

Kasus ini menjadi ujian bagi integritas DLH, GAKKUM, dan APH di Sulawesi Utara. Jika penanganan kasus ini tetap diabaikan, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan pengawas lingkungan akan semakin terkikis. Penegakan hukum yang tegas sesuai regulasi adalah satu-satunya cara untuk menghentikan pencemaran lingkungan dan mencegah kerusakan yang lebih besar.

“Jangan biarkan lingkungan kami terus dirusak demi keuntungan perusahaan. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tutup seorang aktivis.

Kita semua berharap penegakan hukum tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Lingkungan adalah warisan kita bersama yang harus dijaga, bukan dikorbankan untuk kepentingan segelintir pihak.

Pencemaran Limbah PT Futai Sulut Berlanjut: DLH, GAKKUM, dan APH Diduga Tutup Mata

Bitung – Persoalan limbah pabrik PT Futai Sulawesi Utara kembali menjadi sorotan warga Kelurahan Tanjung Merah, Kota Bitung. Meski masalah ini telah berulang kali dimediasi oleh pemerintah setempat, Dinas Lingkungan Hidup (DLH), PTSP, dan aparat penegak hukum (APH), pencemaran limbah masih terus terjadi. Warga menuding ada pembiaran sistematis terhadap dugaan pelanggaran lingkungan oleh perusahaan tersebut.

Limbah yang diduga belum dikelola dengan baik terus mencemari aliran sungai. Warga melaporkan bahwa limbah yang dibuang berwarna putih, berbau menyengat, dan telah menyebabkan kematian ikan di sungai. “Ini bukan kejadian pertama, tetapi sampai sekarang tidak ada tindakan nyata. Apa artinya semua pengaduan jika perusahaan ini terus beroperasi tanpa pengelolaan limbah yang benar?” ujar seorang warga Tanjung Merah dengan nada kecewa.

Warga mencurigai adanya pihak-pihak yang memiliki jabatan penting di pemerintahan yang melindungi PT Futai. Kecurigaan ini muncul karena meskipun perusahaan diduga belum memiliki izin pengelolaan limbah cair (IPAL), mereka tetap bebas beroperasi. Bahkan, laporan warga kepada GAKKUM Sulawesi Utara tidak membuahkan investigasi atau tindakan hukum.

Kinerja DLH juga dipertanyakan. Sebagai instansi yang bertanggung jawab atas pengawasan dan penegakan regulasi lingkungan hidup, DLH dianggap gagal menjalankan tugasnya. “DLH seharusnya tegas terhadap perusahaan yang melanggar aturan lingkungan. Jika limbahnya mencemari sungai, sudah jelas ada pelanggaran, tetapi mereka diam saja,” kritik seorang aktivis lingkungan di Bitung.

Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Permen LHK) No. P.5/MENLHK/SETJEN/KUM.1/2/2021 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, setiap perusahaan yang menghasilkan limbah cair wajib memiliki Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dan memastikan limbah yang dibuang memenuhi baku mutu lingkungan.

Selain itu, Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menegaskan bahwa:

DLH memiliki peran untuk melakukan pengawasan, pembinaan, dan penindakan terhadap pelanggaran lingkungan (Pasal 63).

APH dan GAKKUM memiliki kewenangan untuk mengusut dugaan tindak pidana lingkungan hidup yang diatur dalam Pasal 98, yang menetapkan ancaman pidana penjara 3-10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar bagi pelaku pencemaran lingkungan.

Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa penegakan hukum terhadap dugaan pelanggaran oleh PT Futai masih sangat lemah.

Warga Kelurahan Tanjung Merah mendesak pemerintah dan aparat hukum untuk bertindak tegas terhadap perusahaan tersebut. Mereka juga meminta transparansi dari DLH, GAKKUM, dan APH terkait tindak lanjut pengaduan masyarakat.

“Kalau pemerintah dan penegak hukum terus membiarkan, ini hanya akan menambah kerusakan lingkungan. Jangan sampai kami berpikir bahwa hukum di negara ini hanya untuk masyarakat kecil, sementara perusahaan besar kebal hukum,” ujar warga lainnya.

Kasus ini menjadi ujian bagi integritas DLH, GAKKUM, dan APH di Sulawesi Utara. Jika penanganan kasus ini tetap diabaikan, maka kepercayaan masyarakat terhadap lembaga penegak hukum dan pengawas lingkungan akan semakin terkikis. Penegakan hukum yang tegas sesuai regulasi adalah satu-satunya cara untuk menghentikan pencemaran lingkungan dan mencegah kerusakan yang lebih besar.

“Jangan biarkan lingkungan kami terus dirusak demi keuntungan perusahaan. Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu,” tutup seorang aktivis.

Kita semua berharap penegakan hukum tidak hanya menjadi slogan, tetapi diwujudkan dalam tindakan nyata. Lingkungan adalah warisan kita bersama yang harus dijaga, bukan dikorbankan untuk kepentingan segelintir pihak.

( F M )

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *